Khutbah Jum'at: “Refleksi Makna Perjalanan Hidup Manusia”
Khutbah Pertama:
اَلْحَمْدُ للهِ الَّذِيْ
خَلَقَ الْخَلْقَ وَقَدَّرَ الأَشْيَاءَ، وَاصْطَفَى مِنْ عِبَادِهِ الرُّسُلَ وَالأَنْبِيَاءَ،
بِهِمْ نَتَأَسَّى وَنَقْتَدِي، وَبِهُدَاهُمْ نَهْتَدِي، أَحْمَدُهُ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى
بِمَا هُوَ لَهُ أَهْلٌ مِنَ الحَمْدِ وَأُثْنِي عَلَيْهِ، وَأُومِنُ بِهِ وَأَتَوَكَّلُ
عَلَيْهِ، مَنْ يَهْدِهِ اللهُ فَلاَ مُضِلَّ لَهُ وَمَنْ يُضْلِلْهُ فَلاَ هَادِيَ
لَهُ، أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ، وَأَشْهَدُ
أَنَّ سَيِّدَنَا وَنَبِيَّنَا مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ لاَ نَبِيَّ بَعْدَهُ،
أَنْزَلَ عَلَيْهِ رَبُّهُ الْقُرْآنَ الْمُبِيْنَ, هُدًى وَنُوْرًا لِلْمُؤْمِنِيْنَ،
وَجَعَلَ رِسَالَتَهُ رَحْمَةً لِلْعَالَمِيْنَ، صَلَّى اللهُ وَسَلَّمَ عَلَيْهِ وَعَلَى
سَائِرِ الأَنْبِيَاءِ وَالْمُرْسَلِيْنَ, وَآلِ كُلٍّ وَالصَّحَابَةِ وَالتَّابِعِيْنَ
لَهُمْ بِإِحْسَانٍ إِلَى يَوْمِ الدِّيْنِ. أَمَّا بَعْدُ, فَيَا عِبَادَ اللهِ أُوْصِِيْكُمْ
وَنَفْسِيْ بِتَقْوَى اللهِ وَطَاعَتِهِ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُوْنَ.
Hadirin Jama’ah Jum’at rahimakumullah,
Seiring roda kehidupan yang terus berputar, jumat demi jumat pun
berlalu, seiring itu pula khutbah demi khutbah telah sering kita dengarkan,
sebagai satu ikhtiar bagi kita untuk menasehati diri agar senatiasa patuh dan
tunduk kepada Allah Sang Pencipta. Melalui khutbah-khutbah itu pula, kesadaran
kita seringkali muncul seketika, disertai tekad untuk menjadi hamba-Nya yang
benar-benar taat. Namun, padatnya rutinitas dengan berbagai persoalan yang kita
hadapi sehari-hari, acap kali membuat kesadaran dan tekad itu pelan-pelan
luntur bahkan sirna. Oleh sebab itulah, melalui mimbar jumat ini, marilah kita
berupaya secara lebih sungguh-sungguh memperbaharui iman dan ketaqwaan kita
kepada Allah, memperbaiki kembali komitmen kita kepada Allah yang sering kita nyatakan
berulang kali namun jarang diresapi, sebuah komitmen yang mestinya selalu
menyertai setiap perjalanan hidup kita, sebagaimana yang selalu kita lafalkan
di dalam shalat:
إِنَّ صَلاَتِيْ وَنُسُكِيْ
وَمَحْيَايَ وَمَمَاتِيْ للهِ رَبِّ الْعَالَمِيْنَ, لاَ شَرِيْكَ لَهُ وَبِذَالِكَ
أُمِرْتُ وَأَنَا مِنَ الْمُسْلِمِيْنَ.
“Sesungguhnya sholatku, ibadahku, hidupku dan matiku hanyalah untuk
Allah, Tuhan semesta alam. Tiada satu pun sekutu bagi-Nya, demikianlah aku
diperintahkan, dan aku termasuk orang-orang yang berserah diri.”
Hadirin Jama’ah Jum’at rahimakumullah,
Setiap orang yang beriman pasti menyadari bahwa kehidupan di muka
bumi ini bukanlah tanpa batasan waktu. Setiap orang menjalani kehidupan sesuai
“kontraknya” masing-masing dalam batas waktu yang telah ditetapkan oleh Allah
SWT. Umur manusia berbeda satu dengan lainnya, begitu pun amal dan
perbuatannya. Setiap mukmin akan menyadari bahwa ia tidak akan selamanya hidup
dan tinggal di dunia ini; bahwa keberadaannya di alam ini hakikatnya sedang
menempuh proses perjalanan panjang menuju kehidupan akhirat yang kekal dan
hakiki. Sikap yang demikian sungguh sangat berbeda dan bertolak belakang dengan
sikap orang-orang yang hakikatnya tidak beriman. Sebagaimana hal ini disinggung
dalam firman Allah SWT:
بَلْ تُؤْثِرُونَ الْحَيَاةَ
الدُّنْيَا. وَالآخِرَةُ خَيْرٌ وَأَبْقَى
"Akan tetapi kalian (orang-orang yang ingkar) justeru lebih
memilih kehidupan duniawi. Padahal sungguh kehidupan akhirat itu jauh lebih
baik dan kekal. (QS. al-A’la: 16-17).
Hadirin Jama’ah Jum’at yang dimuliakan Allah,
Terkait bagaimana seharusnya kita memanfaatkan hidup, jika kita
membuka lembaran kisah-kisah ulama salafus shalih terdahulu, kita akan
menemukan karakteristik amal yang berbeda satu dengan yang lainnya. Dalam
konteks keilmuan misalnya, di antara mereka ada yang konsen pada bidang kajian
tafsir, hadits, fiqih, akhlak, tasawuf, dan berbagai macam kajian ilmu lainnya.
Namun, satu titik persamaan yang dapat kita temukan dari berbagai macam amal
kajian yang digeluti para ulama tersebut, adalah ketulusan dan kesungguhan hati
mereka dalam beramal demi memberikan sumbangan terbaik untuk mendidik kehidupan
manusia. Sebuah amal yang tidak hanya bersifat pengabdian diri secara personal
antara seorang hamba dengan Tuhannya (ibadah munfaridah), namun juga memiliki
nilai manfaat yang luar biasa bagi umat manusia dan generasi setelahnya hingga
sekarang (ibadah ijtima’iyah). Dalam hal ini, kiranya patut kita renungkan
kembali firman Allah berikut:
وَابْتَغِ فِيمَا آتَاكَ
اللَّهُ الدَّارَ الآخِرَةَ وَلا تَنْسَ نَصِيبَكَ مِنَ الدُّنْيَا وَأَحْسِنْ كَمَا
أَحْسَنَ اللَّهُ إِلَيْكَ وَلا تَبْغِ الْفَسَادَ فِي الأرْضِ إِنَّ اللَّهَ لا يُحِبُّ
الْمُفْسِدِينَ
“Dan carilah apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu berupa
(kebahagiaan) akhirat, dan janganlah kamu melupakan nasibmu di dunia; berbuat
baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik kepadamu, dan
janganlah kamu berbuat kerusakan di muka bumi. Sesungguhnya Allah tidak
menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan.” (QS. al-Qashash: 77).
Hadirin yang dirahmati Allah,
Dari ayat ini kita dapat menggali beberapa point penting tentang
prinsip-prinsip yang perlu kita pedomani dalam menjalani kehidupan di muka
bumi:
Pertama, prinsip
mengutamakan kebahagiaan akherat. Prinsip ini menganjurkan kita agar dalam
melaksanakan urusan-urusan duniawi, hendaknya selalu dibarengi dengan
mempertimbangkan nilai-nilai ukhrawi. Dalam hal ini, penting dipahami bahwa
mengutamakan kebahagiaan akherat bukan berarti mengabaikan sama sekali
persoalan duniawi. Artinya, dalam melakukan aktifitas apapun di dunia ini, dalam
pekerjaan dan profesi apapun, hendaknya semua itu kita landasi atas dasar
ibadah kepada Allah SWT demi meraih ridho-Nya dan berharap kebahagiaan kelak di
akhirat. Dengan prinsip ini, maka segala prilaku dan usaha kita di dunia,
apapun bentuknya, akan senantiasa terarah dan terjaga sekaligus bernilai
ibadah, serta tidak mudah melakukan upaya-upaya kotor dengan menghalalkan
segala cara demi meraih ambisi-ambisi atau syahwat duniawi.
Kedua, prinsip yang
dalam ayat di atas disebutkan dalam bentuk perintah (fi’il amr): ‘ahsin’, yakni
agar kita senantiasa berbuat kebaikan. Artinya, dalam melakukan aktifitas
apapun, hendaknya selalu kita orientasikan untuk tujuan berbuat baik terhadap
sesama, tidak sebatas memaknai kebaikan hanya untuk diri atau kelompok kita
sendiri. Dengan prinsip ini, seseorang akan terhindar dari sikap ananiyah
(egoisme), sebuah sikap yang sering menjadi sumber pertikaian dan permusuhan
antar sesama. Selain itu, prinsip ini akan menumbuhkan sikap selalu
berprasangka baik (husnudzan) kepada orang lain, serta memupuk sikap tasamuh
(toleransi) dan saling menghargai.
Ketiga, prinsip “walaa
tabghil fasada fil ardh’”, yaitu prinsip tidak berbuat keonaran dan kerusakan
di muka bumi. Bila prinsip ini dipegang secara teguh dan sungguh-sungguh, seseorang
akan dapat dengan mantap mewujudkan prinsip yang kedua, yakni kemampuan berbuat
baik terhadap sesama dibarengi kemampuan menghindari kerusakan. Dalam situasi
tertentu, bahkan prinsip ketiga ini harus lebih diprioritaskan ketimbang
prinsip yang kedua, yaitu apabila misalnya kita dihadapkan pada 2 pilihan dalam
situasi yang serba sulit dan dilematis: “antara berbuat baik (mengambil
mashlahat namun kontraproduktif) ataukah mencegah kerusakan?!”. Sebagaimana
dalam sebuah kaidah ushul al-fiqhiyah disebutkan: “dar’ul mafaasid muqaddamun
‘alaa jalbil mashaalih” (mencegah kerusakan, harus lebih didahulukan dari pada
mengambil mashlahah atau kebaikan). Untuk menerapkan prinsip ini dan
membiasakannya dalam prilaku kita sehari-hari, paling tidak, harus kita mulai
dari hal-hal kecil, seperti: jika kita merasa tidak bisa berbuat baik kepada
orang lain, minimal kita jangan suka menyakiti orang lain; jika kita sulit
untuk bertutur kata yang baik kepada orang lain, minimal kita tidak perlu
mencela atau melukai hati orang lain dengan perkataan kita, artinya kita lebih
baik diam” (qul khoiran aw liyashmut). Prinsip ini juga sangat penting dipahami
dalam konteks upaya amar ma’ruf nahi munkar, artinya, sebuah upaya amar ma’ruf
(kebaikan) tidak boleh dilakukan dengan cara-cara yang munkar (cara-cara yang
merusak, anarkis, bertentangan dengan hukum dan prinsip-prinsip syariat).
Karena ketidakpahaman akan prinsip ini akan mengakibatkan seseorang atau
sekelompok orang dengan mudah melakukan aksi-aksi brutal, anarkis, radikal, bahkan
tindakan terorisme dengan mengatasnamakan “jihad” dan “agama”, sebagaimana yang
marak terjadi akhir-akhir ini. Prilaku semacam itu sesungguhnya amat
bertentangan dengan hakikat ajaran Islam itu sendiri sebagai rahmatan lil
‘alamin (penebar kasih sayang dan kedamaian bagi alam semesta). Sehingga tidak
aneh, oleh kalangan guru-guru kita: para kiai dan ulama-ulama pesantren
kharismatik yang lebih mewarisi spirit dakwah Wali Songo, prilaku-prilaku
kelompok tersebut sering dikatakan dengan bahasa sindirian: “amar ma’ruf nyambi
munkar”, bukan amar ma’ruf nahi munkar.
Hadirin sidang Jum’at yang dimuliakan Allah,
Ayat lain yang juga sangat penting kita renungkan dalam menapaki
kehidupan ini adalah firman Allah berikut:
وَتَزَوَّدُواْ فَإِنَّ
خَيْرَ الزَّادِ التَّقْوَى...
“Persiapkanlah bekal, sesungguhnya sebaik-baik bekal adalah takwa.”
(QS. al-Baqoroh: 197)
Meskipun konteks ayat ini menjelaskan tentang perbekalan dalam
perjalanan ibadah haji, namun sesungguhnya ayat itu juga menjelaskan gambaran
ketika manusia akan menghadap Allah di padang mahsyar kelak. Di mana, ibadah
haji merupakan miniatur gambaran manusia yang akan dikumpulkan di padang
mahsyar seperti halnya mereka berkumpul di padang Arafah. Maka, bekal utama
yang dapat menyelamatkan manusia adalah taqwa.
Firman Allah di atas juga mengandung makna tersirat bahwa manusia
memiliki 2 macam perjalanan, yakni perjalanan di dunia dan perjalanan dari
dunia menuju akherat. Perjalanan manusia di dunia memerlukan bekal, baik bekal
berupa makanan, minuman, harta, pangkat dan kedudukan, kendaraaan, dan
sebagainya. Demikian pula perjalanan manusia dari dunia menuju akherat, juga
memerlukan bekal. Bahkan bekal perjalanan yang dibutuhkan dari dunia menuju
akhirat ini jauh lebih penting dari pada perbekalan di dunia.
Imam Abu Abdillah Muhammad bin Umar bin al-Husain bin al-Hasan,
at-Tamimi, al-Bakri, at-Thabaristani, ar-Rozi, atau yang populer dengan nama
Imam Fakhruddiin (Kebanggaan Islam), seorang mufassir dan ulama besar
bermadzhab Syafi’i di zamannya, dalam dalam tafsirnya yang berjudul Tafsir
al-Kabir atau Mafaatih al-Ghaib, menyebutkan 5 perbandingan antara perbekalan
di dunia dan perbekalan di akherat:
Pertama, perbekalan dalam perjalanan di dunia, akan menyelamatkan
manusia dari ancaman penderitaan yang BELUM TENTU terjadi. Sedangkan bekal
perjalanan dari dunia menuju akherat, akan menyelamatkan manusia dari
penderitaan yang PASTI terjadi jika seseorang tidak membawa bekal.
Kedua, perbekalan dalam perjalanan di dunia, akan menyelamatkan
manusia dari kesulitan sementara. Tetapi bekal perjalanan dari dunia menuju
akherat, akan menyelamatkan manusia dari kesulitan selama-lamanya yang tiada
tara dan tiada batasnya.
Ketiga, perbekalan dalam perjalanan di dunia, akan menghantarkan
manusia pada kenikmatan sesaat, dan pada saat yang sama ia juga mengalami rasa
sakit, keletihan dan kepayahan. Sementara bekal perjalanan dari dunia menuju
akherat, akan membuat manusia terlepas dari marabahaya apapun dan terlindung
dari kebinasaan yang sia-sia.
Keempat, perbekalan dalam perjalanan di dunia, pada saatnya akan
kita lepaskan dan kita tinggalkan di tengah perjalanan. Adapun bekal perjalanan
dari dunia menuju akherat, senantiasa akan kita bawa, dan kita akan lebih
banyak menerima bekal-bekal tambahan hingga kita sampai pada tujuan, yaitu
akherat.
Kelima, perbekalan dalam perjalanan di dunia, akan mengantarkan
manusia pada kepuasan syahwat dan hawa nafsu yang rendah. Sedangkan bekal
perjalanan dari dunia menuju akherat, akan semakin membawa manusia pada
kesucian dan kemuliaan karena yang ia bawa adalah sebaik-baik bekal. (Tafsir
ar-Raazi 5/168)
Hadirin sekalian hadaniyallahu wa iyyakum,
Demikian uraian khutbah yang dapat kami sampaikan, semoga
bermanfaat khususnya bagi pribadi khathib dan umumnya bagi seluruh jama’ah
sekalian.
أعُوْذُ
بِاللهِ مِنَ الشَّيْطَانِ الرَّجِيْمِ, بِسْمِ اللهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْمِ: وَالْعَصْرِ,
إِنَّ الإِنْسَانَ لَفِيْ خُسْرٍ, إِلاَّ الَّذِيْنَ آمَنُوْا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ
وَتَوَاصَوْا بِالْحَقِّ وَتَوَاصَوْا بِالصَّبْرِ. بَارَكَ اللهُ لِيْ وَلَكُمْ فِي
الْقُرْآنِ الْعَظِيْمِ, وَنَفَعَنِيْ وَإِيَّاكُمْ بِمَا فِيْهِ مِنَ الآيَاتِ وَالذِّكْرِ
الْحَكِيْمِ, وَتَقَبَّلَ مِنِّيْ وَمِنْكُمْ تِلاَوَتَهُ إِنَّهُ هُوَ السَّمِيْعُ
الْعَلِيْمُ. أَقُوْلُ قَوْلِيْ هَذَا وَاسْتَغْفِرُ اللهَ الْعَظِيْمَ لِيْ وَلَكُمْ
فَاسْتَغْفِرُوْهُ، إِنَّهُ هُوَ الْغَفُوْرُ الرَّحِيْمُ.
0 Response to "Khutbah Jum'at: “Refleksi Makna Perjalanan Hidup Manusia”"
Post a Comment
الإنسان محل الخطأ والنسيان
.
(Manusia tempatnya salah dan lupa)