KHUTBAH ‘IDUL FITRI PERTAMA




KHUTBAH ‘IDUL FITRI PERTAMA


KHUTBAH PERTAMA

اللهُ اَكْبَرْ (3×) اللهُ اَكْبَرْ (3×) اللهُ اَكبَرْ (3×) اللهُ اَكْبَرْ كُلَّمَا هَلَّ هِلاَلٌ وَاَبْدَرَ اللهُ اَكْبَرْ كُلَّماَ صَامَ صَائِمٌ وَاَفْطَرْ اللهُ اَكْبَرْكُلَّماَ تَرَاكَمَ سَحَابٌ وَاَمْطَرْ وَكُلَّماَ نَبَتَ نَبَاتٌ وَاَزْهَرْوَكُلَّمَا اَطْعَمَ قَانِعُ اْلمُعْتَرْ. اللهُ اَكْبَرْ اللهُ اَكْبَرْ اللهُ اَكْبَرْ لاَ اِلَهَ اِلاَّ اللهُ وَاللهُ اَكْبَرْ اللهُ اَكْبَرْ وَ للهِ اْلحَمْدُ. اَلْحَمْدُ للهِ الَّذِى جَعَلَ لِلْمُسْلِمِيْنَ عِيْدَ اْلفِطْرِ بَعْدَ صِياَمِ رَمَضَانَ وَعْيدَ اْلاَضْحَى بَعْدَ يَوْمِ عَرَفَةَ. اللهُ اَكْبَرْ (3×) اَشْهَدُ اَنْ لاَ اِلَهَ اِلاَّ اللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ لَهُ اْلمَلِكُ اْلعَظِيْمُ اْلاَكْبَرْ وَاَشْهَدٌ اَنَّ سَيِّدَناَ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ الشَّافِعُ فِى اْلمَحْشَرْ نَبِيَّ قَدْ غَفَرَ اللهُ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ وَمَا تَأَخَّرَ. اللهُمَّ صَلِّ عَلىَ سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى اَلِهِ وَاَصْحَابِهِ الَّذِيْنَ اَذْهَبَ عَنْهُمُ الرِّجْسَ وَطَهَّرْ. اللهُ اَكْبَرْ. اَمَّا بَعْدُ. فَيَا عِبَادَاللهِ اِتَّقُوااللهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَلاَ تَمُوْتُنَّ اِلاَّ وَاَنْتُمْ مُسْلِمُوْنَ
Jama'ah sholat Idul Fitri rahimakumullah

Sejak tadi malam telah berkumandang alunan suara takbir, tasbih, tahmid dan tahlil sebagai bentuk ungkapan rasa syukur kepada Allah SWT atas kemenangan besar yang kita peroleh setelah menjalankan ibadah puasa Ramadhan selama satu bulan penuh. Sebagaimana firman Allah SWT:
وَلِتُكْمِلُوااْلعِدَّةَ وَلِتُكَبِّرُاللهَ عَلَى مَا هَدَاكُمْ ولَعَلَّكُمْ تَشْكُرُوْنَ
“Dan hendaklah kamu mencukupkan bilangannya dan hendaklah kamu mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya yang diberikan kepadamu, supaya kamu bersyukur.”

Rasulullah SAW bersabda:
زَيِّنُوْا اَعْيَادَكُمْ بِالتَّكْبِيْر
“Hiasilah hari rayamu dengan takbir.”

Takbir adalah membesarkan Allah dan mengecilkan selain Allah. Ketika kita berpuasa, Takbir kita cerminkan dengan mengecilkan pengaruh hawa nafsu dan mengagungkan kebesaran Allah didalam sanubari kita. Ketika kita membaca Al-Qur’an, kita mengecilkan seluruh pembicaraan manusia dan membesarkan kalam Allah. Ketika kita Tarawih dan Qiyamullail, kita kecilkan seluruh urusan dunia dan hanya membesarkan perintah Allah SWT.

Lalu, mengapa kita harus bertakbir..?
Jawabannya adalah karena Allah maha tahu. Kita sering bertakbir dalam ibadah kita. Namun terkadang kita lupakan takbir di luar ibadah kita. Kita besarkan Allah di Masjid namun di luar masjid kita masih sering mengagungkan kekayaan, kekuasaan dan jabatan. Kita masih diperbudak oleh nafsu dengan memaksa orang lain untuk menuruti kemauan kita.

Di atas sajadah kita kumandangkan Takbir, namun dikantor, dipasar diladang, ditengah-tengah masyarakat kita lupakan Allah SWT. Kita telah mengganti TAKBIR dengan TAKABBUR. Kita salahgunakan jabatan yang seharusnya untuk mengabdi kepada masyarakat. Memakmurkan Negara, melayani rakyat, membela yang lemah, menyantuni dan membantu yang membutuhkan. Kita tutup mata kita. Kita bangga dengan gelar dan jabatan kita. Kita bangga dengan kekayaan yang melimpah ruah.



اللهُ اَكْبَرْ (3×) وَ للهِ اْلحَمْدُ
Jama`ah Idul Fithri yang berbahagia

Kebanyakan kita sudah tidak lagi berpegang pada firman-firman Allah dan Hadits Rasulullah yang mengajarkan kejujuran, keikhlasan, kasih sayang dan amal sholeh. Sebaliknya, dengan setia kita ikuti petunjuk syaitan laknatullah yang mengajarkan kelicikan, kemunafikan dan kekerasan hati. Allah yang selalu kita besarkan dalam shalat dan do’a, telah kita lupakan dalam kehidupan nyata.
Dalam puasa, kita menahan diri untuk tidak makan dan minum, namun kita berbuka dengan makanan dan minuman yang belum tentu halal atau bahkan haram. Bibir kita kering karena kehausan. Mata kita sayu karena keletihan. Perut kita kosong menahan lapar. Namun tangan-tangan kita kotor karena kemaksiatan. Banyak dari kita yang khusyuk dalam shalat namun kita khusyuk juga merampas hak orang lain. Banyak dari kita yang fasih membaca dalil dan ayat ayat Al-Qur’an namun kita juga fasih dalam menipu orang lain.

Seharusnya kita bersyukur karena hingga saat ini kita dimudahkan oleh Allah untuk bersujud, rukuk, dihadapan Allah. Janganlah karena perilaku kita yang menetang Allah menjadikan Allah semakin murka kepada kita. Janganlah karena kesombongan dan kebodohan kita menjadi sebab terhalangnya kita dari jalan surga dan menghalangi kita mendekati Allah swt. Maka bersyukur kepada Allah atas segala karunia ini. Karunia iman dan islam. Apalah artinya kesenangan sesaat di dunia tapi membawa penyesalan berkepanjangan di akherat kelak.

اللهُ اَكْبَرْ (3×) وَ للهِ اْلحَمْدُ
Jamaah Idul Fitri rahimakumullah
Setelah satu bulan penuh kita menunaikan ibadah puasa dan atas karunia-Nya pada hari ini kita dapat berhari raya bersama, maka sudah sepantasnya pada hari yang bahagia ini kita bergembira, merayakan sebuah momentum kemenangan dan kebahagiaan berkat limpahan rahmat dan maghfiroh-Nya sebagaimana yang tersurat dalam sebuah hadis Qudsi:

اِذَا صَامُوْا شَهْرَ رَمَضَانَ وَخَرَجُوْا اِلىَ عِيْدِكُمْ يَقُوْلُ اللهُ تَعَالىَ: يَا مَلاَئِكَتِى كُلُّ عَامِلٍ يَطْلُبُ اُجْرَهُ اَنِّى قَدْ غَفَرْتُ لَهُمْ فَيُنَادِى مُنَادٍ : يَا اُمَّةَ مُحَمَّدٍ اِرْجِعُوْااِلَى مَنَازِلِكُمْ قَدْ بَدَلْتُ سَيِّئَاتِكُمْ حَسَنَاتٍ فَيَقُوْلُ اللهُ تَعَالَى: يَا عِبَادِى صُمْتُمْ لِى وَاَفْطَرْتُمْ لِى فَقُوْمُوْا مَغْفُوْرًا لَكُمْ
Artinya: “Apabila mereka berpuasa di bulan Ramadhan kemudian keluar untuk merayakan hari raya kamu sekalian maka Allah pun berkata: 'Wahai Malaikatku, setiap orang yang mengerjakan amal kebajikan dan meminta balasannya sesungguhnya Aku telah mengampuni mereka'. Lalu terdengar seruan : 'Wahai ummat Muhammad, pulanglah ke tempat tinggal kalian. Seluruh keburukan kalian telah diganti dengan kebaikan'. Kemudian Allah pun berkata: 'Wahai hambaku, kalian telah berpuasa untukku dan berbuka untukku. Maka bangunlah sebagai orang yang telah mendapatkan ampunan.”

Hadirin Jamaah Idul Fitri yang Berbahagia

Ibadah shaum pada hakekatnya merupakan suatu proses penempaan dan pencerahan diri, yakni upaya yang secara sengaja dilakukan untuk mengubah perilaku setiap Muslim, menjadi orang yang semakin meningkat ketakwaannya. Melalui ibadah shaum -sebagai manusia yang memiliki nafsu dan cenderung ingin selalu mengikuti hawa nafsu- kita dilatih untuk mengendalikan diri supaya menjadi manusia yang dapat berprilaku sesuai dengan Fitrah aslinya. Fitrah asli manusia adalah cenderung taat dan mengikuti ketentuan Allah SWT. Melalui proses pencerahan yang terkandung dalam ibadah shaum diharapkan setiap muslim menjadi manusia yang di mana pun kehadirannya, terutama dalam masyarakat yang bersifat plural ini dapat memberi manfaat kepada sesama.

Risalah Islam sesungguhnya bukan hanya diperuntukkan bagi umat Islam saja, tetapi ajarannya juga syarat dengan nilai-nilai yang bersifat universal. Seperti ajaran yang menekankan pentingnya setiap muslim agar mau dan mampu memberi manfaat kepada sesama. Dalam pandangan Islam, salah satu indikator kualitas kepribadian seseorang adalah seberapa besar kehadirannya mampu memberi manfaat kepada sesama, atau dalam bahasa lain semakin besar kemampuan seseorang memberikan manfaat kepada orang lain, maka semakin unggul pula kualitas keberagamaannya. Rasulullah SAW bersabda :
عَنْ جَابِرٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ أنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلّمَ قَالَ : خَيْرُ النَّاسِ أنْفَعُهُمْ لِلنَّاسِ
Artinya “Sebaik-baik manusia (Muslim) adalah orang yang paling (banyak) memberi manfaat kepada manusia”. (HR. Al-Qudla’i)

Hal lain yang perlu kita sadari dalam mengarungi samudera kehidupan ini adalah, bahwa telah menjadi sunnatullaah bila kehidupan ini diwarnai dengan susah dan senang, tangis dan tawa, rahmat dan bencana, menang dan kalah, peluang dan tantangan yang acap kali menghiasi dinamika kehidupan kita. Orang bijak sering menyatakan, “hidup ini laksana roda berputar”, sekali waktu bertengger di atas, pada waktu lain tergilas di bawah. Kemarin sebagai pejabat sekarang kembali menjadi rakyat, satu saat kaya, saat yang lain hidup sengsara, kemarin sehat bugar, saat ini berbaring sakit, bahkan mungkin tetangga kita, saudara kita, orang tua kita, suami/istri kita, anak-anak kita tahun kemaren masih melaksanakan shalat ‘id disamping kita, sekarang mereka, orang-orang yang kita cintai itu telah tiada dan kembali kehadirat-Nya. Kehidupan dunia ini tidak ada yang kekal, ia akan terus bergerak sesuai dengan kehendak dan ketentuan Rabbul ‘Alamin.

اللهُ اَكْبَرْ (3×) وَ للهِ اْلحَمْدُ
Jamaah Idul Fitri rahimakumullah
Sebagai seorang mukmin, tentu tidak ada celah untuk bersikap frustasi dan menyerah kepada keadaan, akan tetapi ia harus tetap optimis, bekerja keras dan cerdas seraya tetap mengharap bimbingan Allah SWT, karena sesungguhnya rahmat dan pertolongan-Nya akan senantiasa mengiringi hamba-hamba-Nya yang sabar dan teguh menghadapi ujian. Sebagai seorang mukmin, kita juga tak boleh hanyut dalam godaan dan glamornya kehidupan yang menipu dan fana ini.

Justru sebaliknya, orang mukmin harus terus menerus berusaha mengobarkan obor kebajikan, menebarkan marhamah, menegakkan da’wah, merajut ukhuwah dan menjawab segala tantangan dengan penuh kearifan dan kesungguhan. Bukankah Allah SWT telah berjanji :
وَلاَ تَهِنُوْا وَلاَ تَحْزَنُوْا وَأَنْتُمُ اْلأَعْلَوْنَ إِنُ كُنْتُمْ مُؤْمِنِيْنَ .
Artinya “Dan janganlah kamu bersikap lemah dan bersedih hati, padahal kalian orang-orang yang paling tinggi derajatnya jika kamu orang-orang yang beriman”. (QS. Ali Imran : 140).

Imam Abu Hamid bin Muhammad Al Ghozali dalam Ihya Ulumuddin melukiskan para penghuni kehidupan dunia ini laksana seorang pelaut yang sedang mengarungi samudera, satu tarikan nafas bagaikan satu rengkuhan dayung, cepat atau lambat biduk yang ditumpangi akan mengantarkannya ke pantai tujuan. Dalam perjalanan itu, setiap nahkoda berada di antara dua kecemasan, antara mengingat perjalanan yang sudah di lewati dengan rintangan angin dan gelombang yang menerjang dan antara menatap sisa-sisa perjalanannya yang masih panjang di mana ujung rimbanya belum tentu dapat mencapai keselamatan.

Tamsil tentang kehidupan ini hendaknya mengingatkan, agar kita senantiasa berupaya memanfaatkan umur yang kita miliki dengan sebaik-baiknya, usia yang masing-masing kita miliki pasti masih akan tetap menghadapi tantangan, ujian dan selera kehidupan yang menggoda, karenanya kita harus tetap mawas diri dan tidak terbuai dengan nafsu angkara murka yang suatu saat dapat menjerumuskan kita dalam limbah kenistaan, kita pergunakan kesempatan dan sisa umur yang kita tidak pernah tahu kapan akan berakhir ini untuk memperbanyak bekal dan amal shaleh guna meraih keselamatan dan kebahagiaan hidup, baik di alam dunia yang fana ini, maupun di alam akhirat yang kelal abadi.

Suatu saat Lukman Al Hakim, seorang shalih yang namanya diabadikan dalam Al-Qur’an pernah menyampaikan taushiyah kepada putranya:
يا بُنَيَّ ! إنَّ الدُنْيَا بَحْرٌ عَمِيْقٌ وَقَدْ غَرَقَ فِيْهَا أُنَاسٌ كَثِيْرٌ ، فَاجْعَلْ سَفِيْنَتَكَ فِيْهَا تَقْوَى اللهِ وَحَشْوُهَا الإيْمَانُ وَشَرَاعُهَا التَّوَكَّلُ عَلىَ اللهِ لَعَلَّكَ تَنْجُوْ.
“Wahai anakku, sesunguhnya dunia ini laksana lautan yang dalam dan telah banyak manusia tenggelam di dalamnya, oleh karenanya, jadikanlah taqwa kepada Allah SWT sebagai kapal untuk mengarunginya, iman sebagai muatannya, tawakkal sebagai layarnya niscaya engkau akan selamat sampai tujuan”.
Akhirnya, semoga Allah SWT senantiasa berkenan membimbing kita semua agar tergolong hamba-hambanya yang mampu meraih sertifikat kefitrahan di hari kemenangan yang agung ini, sehinnga kita layak mendapatkan penghargaan “Minal’aidin Walfaizin”, Semoga Allah SWT berkenan mencurahkan rahmat-Nya kepada bangsa Indonesia serta umat Islam pada umumnya untuk senantiasa mengamalkan syariat-Nya, menghidupkan sunnah-sunnah Rasul-Nya.
            Semoga momentum Idul Fitri ini juga benar-benar mampu mengantarkan tatanan kehidupan kita yang berlandaskan nilai-nilai agama, akhlak karimah, kebersamaan dan kasih sayang guna terwujudnya ummat dan masyarakat Indonesia yang berharkat dan bermartabat, sejahtera dan berperadaban, baldatun thayyibatun warabbun ghafur, bangsa yang gemah ripah lohjinawi di bawah naungan ridla Allah SWT. Amin, Ya Mujiibassaailiin.
 اَعُوْذُ بِاللهِ مِنَ الشَّيْطَانِ الرَّجِيْمِ. وَاَمَّا مَنْ خَافَ مَقَامَ ربِّهِ ونَهَيَ النَّفْسَ عَنِ اْلَهوَى فَاِنَّ الْجَنَّةَ هِيَ اْلمَأْوَى. جَعَلَنَا اللهُ وَاِيَّاكُمْ مِنَ اْلعَائِدِيْنَ وَاْلفَائِزِيْنَ وَاْلمَقْبُوْلِيْنَ وَاَدْخَلَنَا وَاِيَّاكُمْ فِى زُمْرَةِ عِبَادِهِ الصَّالِحِيْنَ . اَقوْلُ قَوْلِى هَذَا وَاسْتَغْفِرُ الله  لِى وَلَكُمْ وَلِوَالِدِيْنا وَلِسَائِرِ اْلمُسْلِمِيْنَ وَاْلمُسْلِمَاتِ فَاسْتَغْفِروهُ اِنَّهُ هُوَاْلغَفُوْرُ الرَّحِيْمُ

Sumber : khutbah idhul fitri ponpes sabilul hasanah Palembang

Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "KHUTBAH ‘IDUL FITRI PERTAMA"

Post a Comment

الإنسان محل الخطأ والنسيان
.
(Manusia tempatnya salah dan lupa)